Interpretasi Citra Penginderaan Jauh

BAB 7 INTERPRETASI CITRA PENGINDERAAN JAUH

Interpretasi citra satelit penginderaan jauh merupakan proses penting untuk memperoleh informasi geospasial dari citra satelit yang ada.  Proses ini, pada intinya, adalah tentang pengenalan objek dan fenomena yang terekam pada citra, serta penggalian informasi spasial yang terkandung di dalamnya. Untuk mencapai hal tersebut, interpretasi citra satelit melibatkan serangkaian tahapan sistematis yang mengolah data mentah menjadi informasi bermakna. Tahapan-tahapan tersebut meliputi deteksi, identifikasi, delineasi, enumerasi, dan mensurasi.

Proses interpretasi diawali dengan deteksi, yaitu tahapan pencarian objek atau fenomena spesifik pada citra. Selanjutnya, identifikasi dilakukan untuk mengenali dan mengklasifikasikan objek yang terdeteksi berdasarkan karakteristik spektral, spasial, dan temporal. Delineasi merupakan tahapan penggambaran batas-batas objek untuk menghasilkan peta tematik yang informatif. Tahapan enumerasi bertujuan untuk menghitung atau mengestimasi kuantitas objek yang teridentifikasi. Terakhir, mensurasi dilakukan untuk mengukur parameter geometris objek pada citra secara akurat. Kelima tahapan ini saling terkait dan berkontribusi dalam menghasilkan informasi geospasial yang akurat dan terkini.

Dalam bidang interpretasi citra satelit, terdapat dua pendekatan utama yang kerap digunakan, yaitu metode visual dan metode digital. Dalam praktiknya, seringkali terjadi kombinasi antara keduanya untuk mencapai hasil interpretasi yang lebih komprehensif dan akurat.

Metode Interpretasi Visual

Metode visual, yang bertumpu pada kemampuan pengamatan dan interpretasi manusia, menawarkan sejumlah keunggulan seperti kesederhanaan, biaya peralatan yang relatif rendah, serta kemampuan untuk mengintegrasikan kecerahan, konteks spasial, dan pengetahuan interpreter dalam analisis citra. Namun demikian, metode ini memiliki keterbatasan dalam hal efisiensi waktu dan biaya untuk area yang luas, potensi inkonsistensi hasil interpretasi, dan ketergantungan pada ketersediaan interpreter yang terampil.

Ada dua cara interpretasi citra satelit, yang pertama adalah interpretasi secara visual dan yang kedua adalah interpretasi secara numerik. Interpretasi cara pertama adalah yang paling mudah dan murah, karena tidak memerlukan keahlian khusus dan tidak memerlukan ketersediaan kanal yang banyak (cukup RGB atau ditambah dengan NIR misalnya, jika studi tentang vegetasi), serta format data cukup Digital Number saja.

Dalam interpretasi ini, pengguna sebaiknya tidak merasa cukup dengan kenampakan alam (natural color) yang disusun dari tiga kanal utama (R, G dan B), perlu kiranya untuk mencoba band composite lainnya sebelum bisa dengan yakin memutuskan apakah suatu objek adalah A atau tidak.

Dalam interpretasi visual, terdapat delapan kunci interpretasi visual, diantaranya:

  1. Rona dan Warna. Perbedaan rona dan warna pada citra dapat mengindikasikan perbedaan jenis vegetasi, kondisi tanah, atau material permukaan lainnya. Contoh penggunaan informasi rona dan warna dapat dilihat dalam Identifikasi Jenis Vegetasi: Analisis rona dan warna pada citra Landsat 8 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hutan tropis dan savana di Taman Nasional Baluran. Hutan tropis tampak berwarna hijau tua dengan rona gelap, mengindikasikan kepadatan vegetasi yang tinggi dan struktur tajuk yang kompleks. Sebaliknya, savana menunjukkan rona hijau lebih muda hingga kecoklatan, mencerminkan tutupan vegetasi yang lebih jarang dan dominasi rerumputan. Contoh lain dalam Pemantauan Kesehatan Tanaman: Citra inframerah warna semu digunakan untuk memantau kesehatan tanaman jagung di suatu lahan pertanian. Tanaman jagung yang sehat tampak merah cerah pada citra, menunjukkan aktivitas fotosintesis yang tinggi. Sementara itu, tanaman yang mengalami stres kekeringan menunjukkan rona merah yang lebih gelap hingga kecoklatan, mengindikasikan penurunan aktivitas fotosintesis. Dan juga pada Pemetaan Geologi: Pemetaan geologi menggunakan citra Sentinel-2 di wilayah Pegunungan Selatan Jawa berhasil mengidentifikasi berbagai jenis batuan berdasarkan rona dan warnanya. Batuan kapur tampak cerah dengan rona putih keabu-abuan, sedangkan batuan vulkanik andesit tampak lebih gelap dengan rona abu-abu kehitaman. Perbedaan rona ini mencerminkan komposisi mineral dan sifat pantulan spektral yang berbeda dari setiap jenis batuan.
  2. Bentuk. Bentuk geometris yang teratur seringkali menunjukkan objek buatan manusia, sedangkan bentuk yang tidak beraturan lebih umum pada objek alami. Contoh dalam pemanfaatan informasi bentuk dapat ditemukan pada Identifikasi Lahan Pertanian: Bentuk geometris yang teratur pada citra WorldView-3 menunjukkan dominasi lahan pertanian di dataran rendah utara Jawa. Petak-petak sawah tampak sebagai poligon beraturan dengan ukuran yang relatif seragam, mengindikasikan penggunaan teknologi pertanian modern dan sistem irigasi yang terstruktur. Atau dalam pekerjaan Deteksi Jalan dan Infrastruktur: analisis citra GeoEye-1 memungkinkan deteksi dan pemetaan jalan dan infrastruktur di wilayah perkotaan dengan detail yang tinggi. Jalan raya tampak sebagai garis lurus atau melengkung dengan lebar yang konsisten, sedangkan rel kereta api tampak sebagai garis ganda yang sejajar. Jaringan jalan dan rel kereta api ini membentuk pola yang terhubung, mencerminkan sistem transportasi yang kompleks di wilayah perkotaan. an juga pada DAnalisis Bentuk Bangunan: Penelitian tentang morfologi kota menggunakan citra Pleiades-1A di Yogyakarta menunjukkan keragaman bentuk bangunan yang mencerminkan fungsi dan sejarah perkembangan kota. Bangunan di kawasan Malioboro umumnya memiliki bentuk memanjang dengan muka bangunan yang sempit, khas bangunan komersial era kolonial. Sementara itu, bangunan di kawasan perumahan modern cenderung memiliki bentuk yang lebih bervariasi dengan halaman yang lebih luas.
  3. Ukuran. Ukuran objek pada citra harus diinterpretasikan dalam konteks skala citra. Contoh dalam pemanfaatan informasi ukuran dapat ditemukan pada Estimasi Luas Hutan: Berdasarkan analisis citra Landsat 8, luas hutan di Pulau Sumatera pada tahun 2023 diperkirakan mencapai X hektar. Estimasi ini diperoleh dengan mengukur luas area yang tertutup oleh vegetasi hutan pada citra, yang kemudian dikalibrasi dengan data lapangan untuk meningkatkan akurasi. Atau dalam pekerjaan Identifikasi Jenis Pesawat: Citra resolusi sangat tinggi dari WorldView-4 memungkinkan identifikasi jenis pesawat yang berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pesawat Airbus A380 tampak lebih besar dengan bentang sayap yang lebih lebar dibandingkan dengan pesawat Boeing 737, sehingga memudahkan dalam mengklasifikasikan jenis pesawat berdasarkan ukurannya pada citra. Dan juga pada Analisis Perkembangan Kota: Pertumbuhan kota Jakarta dari tahun 2000 hingga 2020 dianalisis menggunakan citra multi-temporal Landsat. Hasil analisis menunjukkan peningkatan signifikan pada luas area terbangun, yang mengindikasikan ekspansi kota yang pesat selama periode tersebut. Data ini penting untuk perencanaan tata ruang dan pengelolaan sumber daya di wilayah perkotaan.
  4. Tekstur. Tekstur pada citra mengacu pada variasi rona atau warna dalam suatu objek atau area. Contoh dalam pemanfaatan informasi tekstur dapat ditemukan dalam Membedakan Jenis Hutan: Tekstur pada citra SPOT-6 digunakan untuk membedakan hutan primer dan hutan sekunder di Kalimantan. Hutan primer tampak bertekstur halus dan seragam, mencerminkan kanopi hutan yang rapat dan struktur vegetasi yang kompleks. Sebaliknya, hutan sekunder menunjukkan tekstur yang lebih kasar dan tidak beraturan, mengindikasikan tutupan vegetasi yang lebih terbuka dan keragaman jenis tumbuhan yang lebih rendah. Atau dalam pekerjaan Identifikasi Lahan Terdegradasi: Analisis tekstur pada citra Sentinel-2 di wilayah Nusa Tenggara Timur menunjukkan adanya lahan terdegradasi yang ditandai dengan tekstur kasar dan tidak beraturan. Lahan terdegradasi ini umumnya berada di daerah dengan lereng terjal dan tutupan vegetasi yang jarang, sehingga rentan terhadap erosi. Dan juga pada Analisis Gelombang Laut: Citra radar Sentinel-1 digunakan untuk menganalisis pola gelombang laut.
  5. Pola. Pola spasial objek dapat memberikan informasi tentang penggunaan lahan, struktur geologi, atau proses alami.  Contoh dalam pemanfaatan informasi pola dapat ditemukan pada  Identifikasi Sistem Irigasi: Pola teratur jaringan irigasi pivot center pada citra Sentinel-2 di wilayah pertanian Nebraska menunjukkan penggunaan teknologi irigasi modern yang efisien untuk memaksimalkan hasil panen di lahan pertanian yang luas. Atau dalam Pemetaan Aliran Sungai: Analisis pola aliran sungai pada citra DEM di wilayah pegunungan Himalaya mengungkapkan pola dendritik yang khas, mengindikasikan erosi yang terjadi pada batuan yang relatif homogen dan dipengaruhi oleh struktur geologi yang kompleks. Dan juga pada Analisis Pola Permukiman: Pola permukiman terpusat di sekitar pusat kota pada citra WorldView-3 di kota Yogyakarta mencerminkan sejarah perkembangan kota yang berawal dari kerajaan Mataram Islam, dengan pola permukiman yang menyebar secara radial dari keraton sebagai pusat pemerintahan dan budaya.
  6. Bayangan. Bayangan dapat membantu dalam menentukan ketinggian objek dan bentuk tiga dimensi. Contoh dalam pemanfaatan informasi bayangan dapat ditemukan pada Estimasi Ketinggian Bangunan: Dengan mengukur panjang bayangan gedung pencakar langit pada citra Pleiades-1A yang diambil pada waktu tertentu, dan dengan mengetahui sudut elevasi matahari saat itu, estimasi ketinggian gedung dapat dihitung menggunakan trigonometri dasar. Atau dalam pekerjaan Identifikasi Lereng Terjal: Citra WorldView-2 di wilayah pegunungan Alpen Swiss menunjukkan bayangan yang lebih panjang dan gelap pada lereng yang menghadap utara, mengindikasikan lereng yang lebih terjal dibandingkan dengan lereng yang menghadap selatan yang menerima lebih banyak sinar matahari. Dan juga pada Analisis Relief Dasar Laut: Citra sonar multibeam di Selat Sunda menunjukkan pola bayangan yang kompleks, mencerminkan relief dasar laut yang bervariasi, termasuk palung laut yang dalam, gunung laut yang menjulang, dan lereng yang terjal, memberikan informasi penting untuk navigasi dan penelitian oseanografi.
  7. Situs. Lokasi objek terhadap objek lain dapat memberikan informasi tentang karakteristik dan fungsinya. Contoh dalam pemanfaatan informasi situs dapat ditemukan pada Prediksi Bahaya Banjir: Daerah permukiman yang terletak di dataran banjir Sungai Bengawan Solo pada citra Landsat 8 memiliki risiko banjir yang tinggi, terutama selama musim hujan dengan curah hujan tinggi dan kapasitas sungai yang melebihi batas. Atau dalam pekerjaan Penilaian Kesesuaian Lahan: Analisis situs pada citra Sentinel-2 menunjukkan bahwa lahan di lereng selatan Gunung Merapi memiliki kesesuaian yang rendah untuk pertanian karena lereng yang terjal dan risiko erupsi vulkanik, namun berpotensi untuk pengembangan ekowisata dengan pemandangan alam yang indah. Dan juga pada Analisis Habitat Satwa Liar: lokasi habitat harimau Sumatera pada citra Landsat 8 di Taman Nasional Gunung Leuser dianalisis berdasarkan kedekatannya dengan sumber air, tutupan hutan yang lebat, dan daerah dengan aktivitas manusia yang rendah, untuk mengidentifikasi koridor habitat dan strategi konservasi yang efektif.
  8. Asosiasi. Asosiasi antar objek membantu dalam mengidentifikasi objek yang mungkin sulit dikenali hanya berdasarkan satu kunci interpretasi saja. Contoh dalam pemanfaatan informasi asosiasi dapat ditemukan pada Identifikasi Fasilitas Pelabuhan: Keberadaan dermaga, gudang, dan jaringan transportasi yang terhubung pada citra GeoEye-1 di Tanjung Priok mengkonfirmasi bahwa daerah tersebut merupakan pelabuhan besar dengan aktivitas bongkar muat barang yang padat. Atau dalam pekerjaan Pemetaan Jaringan Transportasi: Analisis asosiasi pada citra Landsat 8 menunjukkan bahwa jalan raya, rel kereta api, dan bandara udara saling terhubung dalam suatu jaringan transportasi yang kompleks di Pulau Jawa, memfasilitasi mobilitas penduduk dan distribusi barang. Rel kereta api dapat dibedakan dari jalan raya, karena rel terhubung dengan stasiun kereta api. Dan juga pada Analisis Hubungan Spasial: Asosiasi antara kepadatan penduduk yang tinggi dengan area kumuh pada citra WorldView-3 di Jakarta menunjukkan korelasi spasial yang erat, mengindikasikan perlunya intervensi kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah tersebut.

Dengan menggabungkan dan menganalisis informasi dari delapan kunci interpretasi visual ini, seorang interpreter dapat mengekstrak informasi yang berharga dari citra penginderaan jauh untuk berbagai aplikasi.

Untuk memudahkan interpretasi dan menjamin bahwa interpretasi menghasilkan data yang akurat, penggunaan sistem warna memegang peranan penting untuk menampilkan, memproses, dan merepresentasikan informasi warna pada citra. Terdapat  beberapa sistem warna yang dikenal, diantaranya:

  1. RGB (Red, Green, Blue). Sistem warna yang paling umum digunakan pada monitor dan layar digital. Berdasarkan pencampuran warna cahaya, di mana kombinasi intensitas merah, hijau, dan biru menghasilkan berbagai warna. Dalam pengolahan citra dijital penginderaan jauh, sistem warna yang digunakan adalah RGB.
  2. CMY-K (Cyan, Magenta, Yellow, black). Sistem warna yang umum digunakan pada printer. Berdasarkan pencampuran warna pigmen, di mana warna-warna primer cyan, magenta, dan kuning dikurangi dari cahaya putih untuk menghasilkan berbagai warna. “K” merepresentasikan warna hitam (black) yang sering ditambahkan untuk menghasilkan warna hitam yang lebih pekat dan efisiensi tinta.
  3. HSV/HSI (Hue, Saturation, Value/Intensity). Sistem warna yang merepresentasikan warna berdasarkan rona (hue), saturasi (saturation), dan nilai/intensitas (value/intensity). Sistem ini lebih intuitif untuk manusia dalam memahami dan membedakan warna.
  4. YIQ. Sistem warna yang digunakan pada televisi analog NTSC di Amerika Utara. “Y” merepresentasikan luminansi (kecerahan), sedangkan “I” dan “Q” merepresentasikan informasi krominansi (warna).
  5. YUV. Sistem warna yang umum digunakan pada video digital dan beberapa sistem televisi analog (misalnya, PAL di Eropa). Mirip dengan YIQ, “Y” merepresentasikan luminansi, sedangkan “U” dan “V” merepresentasikan informasi krominansi.
  6. Lab. Dirancang untuk mendekati persepsi warna manusia, sistem warna Lab mendefinisikan warna berdasarkan tiga sumbu: L untuk lightness (kecerahan), a untuk rentang hijau-merah, dan b untuk rentang biru-kuning. Lab sering digunakan dalam pengeditan foto profesional karena kemampuannya merepresentasikan rentang warna yang lebih luas daripada RGB dan konsistensinya di berbagai media.
  7. CMYKcm. Merupakan perluasan dari sistem warna CMYK dengan menambahkan warna cyan muda (light cyan) dan magenta muda (light magenta). Penambahan ini memungkinkan reproduksi gradasi warna yang lebih halus dan detail yang lebih baik, terutama pada cetakan foto dan gambar dengan detail halus.
  8. XYZ. Sistem warna standar yang ditetapkan oleh Commission Internationale de l’éclairage. Berbeda dengan RGB atau CMYK yang bergantung pada perangkat, XYZ merupakan sistem warna yang tidak bergantung pada perangkat (device-independent), yang berarti warna direpresentasikan secara matematis berdasarkan persepsi warna manusia. XYZ sering digunakan sebagai dasar untuk konversi antar sistem warna.

Metode Interpretasi Digital

Metode digital, yang memanfaatkan teknologi komputer untuk memproses dan menganalisis data citra, menawarkan keunggulan dalam hal efisiensi biaya untuk area yang luas dan interpretasi berulang, konsistensi hasil, kemampuan analisis multikanal, kecepatan pemrosesan, dan potensi untuk mengungkap informasi yang tidak dapat diinterpretasi secara visual. Dalam prakteknya, metode ini  memanfaatkan beberapa algoritma model yang menghubungkan antara parameter lingkungan (fisika, biologi dan kimia) dari objek dengan respon spektral dari objek tersebut.

Meskipun demikian, metode digital juga memiliki keterbatasan, seperti biaya awal yang tinggi untuk perangkat keras dan perangkat lunak, kompleksitas dalam mengevaluasi akurasi hasil interpretasi, kebutuhan akan data yang kompatibel dan terkadang mahal, serta kebutuhan akan SDM dengan keterampilan khusus.

Sistem Warna RGB dan Citra Komposit

Dominasi sistem warna RGB dalam citra komposit (composite image), terutama untuk tujuan interpretasi visual, dapat diatribusikan pada beberapa faktor kunci yang berkaitan dengan persepsi manusia, representasi data, ketersediaan data, dan standar industri. Pertama, sistem visual manusia memainkan peran penting dalam efektivitas RGB. Mata manusia dilengkapi dengan reseptor warna yang secara khusus sensitif terhadap panjang gelombang cahaya yang sesuai dengan warna merah, hijau, dan biru. Oleh karena itu, penggunaan RGB dalam komposit citra memanfaatkan kemampuan alami kita untuk membedakan warna dalam rentang spektrum tersebut, memungkinkan representasi informasi yang intuitif dan mudah diinterpretasi.

Kedua, RGB memfasilitasi representasi data yang intuitif dan mudah dipahami. Misalnya, dalam false color composite yang menggunakan kombinasi NIR, Red, Green, vegetasi yang sehat akan tampak merah terang karena tingginya pantulan inframerah dekat. Representasi visual ini sesuai dengan pemahaman umum bahwa vegetasi yang sehat tampak hijau, sehingga memudahkan interpretasi.

Ketiga, dominasi RGB juga dipengaruhi oleh faktor kepraktisan. Sebagian besar sensor penginderaan jauh, terutama yang dirancang untuk observasi permukaan bumi, merekam data dalam spektrum tampak dan inframerah dekat, yang mencakup panjang gelombang RGB. Ketersediaan data RGB yang melimpah ini menjadikannya pilihan yang praktis dan mudah diakses untuk komposit citra.

Terakhir, RGB telah mengakar kuat sebagai standar industri dalam berbagai bidang, termasuk fotografi, desain grafis, dan teknologi layar.  Penggunaan RGB dalam komposit citra penginderaan jauh memastikan kompatibilitas dan interoperabilitas data di berbagai platform dan disiplin ilmu.

Dalam interpretasi citra digital, khususnya menggunakan sistem warna RGB, teknik penyusunan citra komposit dengan metode kombinasi kanal (band combination)  sangat penting untuk dilakukan. Metode ini memungkinkan analis untuk menggabungkan informasi dari beberapa kanal spektral menjadi satu citra tunggal, sehingga menonjolkan fitur-fitur spesifik dan memudahkan analisis.

Terdapat dua pendekatan utama dalam kombinasi kanal (band combination): false color dan pseudo color. False color composite memanfaatkan tiga kanal data asli, yang tidak harus selalu RGB, untuk menciptakan representasi visual yang berbeda dari kenampakan alami. Kombinasi kanal ini dipilih secara strategis untuk menyoroti karakteristik tertentu, seperti tutupan vegetasi atau kelembaban tanah, berdasarkan sifat pantulan spektralnya.

Di sisi lain, pseudo color menggunakan satu kanal data dan merepresentasikan rentang nilainya dalam gradasi warna yang berbeda. Pendekatan ini sangat berguna untuk memvisualisasikan variasi halus dalam data, seperti suhu permukaan laut atau konsentrasi polutan udara. Dengan demikian, pseudo color membantu dalam mengidentifikasi pola spasial dan anomali yang mungkin tidak terlihat jelas pada citra asli. Pemilihan kombinasi kanal yang optimal bergantung pada karakteristik data citra dan tujuan interpretasi.

Dalam interpretasi ini, pengguna sebaiknya tidak merasa cukup dengan kenampakan alam (natural color) yang disusun dari tiga kanal utama (R, G dan B), perlu kiranya untuk mencoba band composite lainnya sebelum bisa dengan yakin memutuskan apakah suatu objek adalah A atau tidak. Berikut adalah contoh yang sangat mudah dipahami.

Sebuah lapangan bola dengan rumput sintetis (Artificial turf) yang saya dapatkan di Denmark.

http://www.stadiumguide.com/wp-content/gallery/farumpark/farumpark2.jpg
FC Nordsjælland mod OB i Farum Park. Resultat 0-0
Farum park dilihat dari Google Map

Untuk memudahkan pengecekan, apakah rumput yang ada di lapangan bola di atas adalah rumput asli atau sintetis, kita bisa menggunakan Landviewer. Jangan lupa memilih data Sentinel 2 (tidak disarankan menggunakan Landsat karena resolusi spasial yang hanya 30 m).

Jika dilihat dari band composite: natural color, tidak bisa dibedakan antara rumput sintetis dengan rumput asli, sebagaimana bisa kita lihat di gambar di bawah:

432-Natural color. Warna hijau di lapangan bola yang sama dengan warna hijau di sekitarnya

 

843 (Color IR). Color Infrared (warna merah adalah vegetasi) dan lapangan bola tidak berwarna merah. Dengan dua kombinasi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa lapangan bola tidak ditutup oleh vegetasi alias menggunakan rumput sintetis. Tutupan vegetasi dapat dilihat di utara lapangan bola yang berwarna hijau di warna natural dan berwarna merah di warna infrared


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *