
Sebuah gempa dahsyat bermagnitudo 8,8 mengguncang Semenanjung Kamchatka, Rusia, pada pagi hari 30 Juli 2025, tepat pukul 11:24 waktu setempat atau pukul 06:24 WIB. Berdasarkan lokasi dan kedalamannya, gempa ini merupakan jenis gempabumi dangkal yang disebabkan oleh aktivitas subduksi lempeng pada Palung Kurile-Kamchatka dengan mekanisme sesar naik (thrust fault). Peristiwa ini memicu gelombang tsunami yang merambat hingga ke pesisir Indonesia, sekaligus membuka pemahaman baru tentang pergerakan tsunami lintas Samudra Pasifik.
Prediksi Awal BMKG dan Perbedaan Waktu Tiba
Setelah gempa, Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) segera mengeluarkan peringatan potensi tsunami untuk wilayah Rusia, Jepang, Alaska, Filipina, Hawaii, dan Guam. Menanggapi situasi ini, BMKG di Indonesia segera mengeluarkan peringatan tsunami pada pukul 08:43 WIB dengan status Waspada untuk sejumlah wilayah. Status ini mengindikasikan potensi ketinggian tsunami kurang dari 0,5 meter.
Perkiraan waktu tiba yang dirilis BMKG setelah disesuaikan ke format WIB adalah sebagai berikut: Talaud pukul 13:52 WIB, Gorontalo 15:39 WIB, Halmahera Utara 14:04 WIB, Manokwari 14:08 WIB, Raja Ampat 14:18 WIB, Biak Numfor dan Supiori pada 14:21 WIB, Sorong bagian Utara 14:24 WIB, serta Jayapura dan Sarmi pada 14:30 WIB.
Namun, berdasarkan data observasi, gelombang tsunami minor tercatat tiba dengan waktu yang bervariasi dan berbeda dari prediksi. Gelombang tsunami pertama terdeteksi di Jayapura sekitar pukul 14.14 WIB, atau sekitar 7 jam 49 menit setelah gempa terjadi. Lokasi ini tercatat menjadi yang tercepat merasakan dampaknya, lebih cepat dari waktu perkiraan yang diberikan BMKG.
Analisis terhadap data menemukan hubungan antara jarak, waktu tempuh, dan kecepatan gelombang. Terlihat jelas bahwa Jayapura, yang berjarak sekitar 5.400 km dari episentrum, menjadi lokasi dengan kecepatan tsunami rata-rata tertinggi, mencapai 691 km/jam. Sebaliknya, Sarmi yang sedikit lebih dekat (sekitar 5.200 km) mencatat kecepatan rata-rata 655 km/jam. Sementara Sorong dan Manokwari berada di kisaran 550-600 km/jam. Yang paling mengejutkan, Talaud, sebagai lokasi terdekat (sekitar 3.800 km), justru menjadi yang terakhir merasakan gelombang pada pukul 15.14 WIB dengan kecepatan rata-rata terendah, yakni sekitar 430 km/jam.
Lokasi | Jarak dari Episentrum (km) | Waktu Prediksi (WIB) | Waktu Observasi (WIB) | Waktu Tempuh | Ketinggian Prediksi | Ketinggian Observasi |
Kecepatan Gelombang (km/jam) |
Jayapura (DOK II) | ~5400 | 14:30 | 14:14 | ~7 jam 49 menit | < 0,5 m | 0,3 m | ~691 |
Sarmi | ~5200 | 14:30 | 14:20 | ~7 jam 56 menit | < 0,5 m | 0,5 m | ~655 |
Manokwari | ~4800 | 14:08 | 14:23 | ~7 jam 59 menit | < 0,5 m | 0,15 m | ~602 |
Sorong | ~4500 | 14:24 | 14:35 | ~8 jam 11 menit | < 0,5 m | 0,2 m | ~550 |
Jayapura (Depapre) | ~5400 | 14:30 | 14:45 | ~8 jam 20 menit | < 0,5 m | 0,3 m | ~648 |
Talaud | ~3800 | 13:52 | 15:14 | ~8 jam 50 menit | < 0,5 m | 0,06 m | ~430 |
Akurasi Prediksi Sarmi dan Topografi Kedalaman Laut
Perbedaan kecepatan yang terjadi dapat dijelaskan oleh prinsip fisika gelombang tsunami. Kecepatan gelombang sangat bergantung pada kedalaman laut yang dilintasinya. Semakin dalam perairan, semakin cepat gelombang merambat. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jalur perambatan gelombang tsunami menuju Jayapura memiliki rata-rata kedalaman yang lebih dalam dibandingkan jalur menuju Sarmi atau Talaud. Hal inilah yang membuat gelombang tiba lebih cepat di Jayapura, meskipun jaraknya lebih jauh.
Di antara semua lokasi, stasiun observasi di Sarmi menunjukkan tingkat akurasi prediksi yang paling tinggi. Perkiraan waktu kedatangan gelombang hanya berselisih 10 menit lebih cepat dari prediksi BMKG. Yang paling presisi adalah prediksi ketinggiannya. BMKG memperkirakan ketinggian gelombang di bawah 0,5 meter, dan hasil observasi di Sarmi mencatat ketinggian tepat 0,5 meter, yang berarti mencapai batas atas dari perkiraan BMKG. Tingkat akurasi ini kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi topografi pesisir di Sarmi yang cenderung curam dan langsung menurun ke kedalaman perairan. Jalur perambatan yang relatif sederhana ini memungkinkan gelombang tsunami merambat dengan lintasan yang lebih teratur dan langsung menuju pantai. Hal ini sejalan dengan data batimetri (peta kedalaman laut) yang digunakan untuk membangun model prediksi BMKG, sehingga model tersebut mampu memperkirakan waktu tiba dan ketinggian gelombang yang tidak jau berbeda dengan data observasi.
Keandalan Sistem BMKG
Meskipun gelombang yang tiba di Indonesia masuk kategori minor, peristiwa ini menjadi studi kasus berharga untuk meningkatkan keandalan sistem Peringatan Dini Tsunami BMKG. Proses kerja BMKG yang meliputi deteksi cepat gempa, pemodelan komputer, hingga verifikasi data dengan sensor di lapangan, mampu memastikan peringatan yang dikeluarkan dapat dipercaya, bahkan ketika ancaman datang dari Samudra Pasifik yang begitu jauh. Peristiwa ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya kesiapan dan sistem peringatan dini yang andal bagi negara kita yang berada di Cincin Api Pasifik.
Artikel ini dimuat di
https://mataram.antaranews.com/berita/476265/gempa-rusia-dan-pelajaran-tsunami-di-indonesia
Leave a Reply